
Oleh Heni Ummu Faiz
(Ibu Pemerhati Umat)
Pelitasukabuminews.com – Februari sering diidentikkan sebagai bulan merah jambu alias bulan kasih sayang. Bulan ini sangat dinantikan bagi sebagian orang terutama muda mudi untuk mengungkapkan rasa kasih sayang. Bentuk kasih sayang tersebut bisa disimbolkan dengan berbagai macam makanan dan pernak-pernik yang mengidentikkan cinta. Cokelat, permen, gaun pink, bunga layaknya princess hingga hal yang menuju perzinaan yakni kondom. Semuanya laris manis dibeli oleh mereka yang katanya ingin mengekspresikan rasa cinta.
Penjualan kondom ini laris manis di Amerika Serikat setiap tahunnya dari tanggal 14–21 Februari diadakan Pekan Kondom Nasional. Tujuan dari pekan kondom tersebut adalah untuk mempelajari lebih lanjut tentang pentingnya menggunakan kondom dan untuk mengedukasi orang lain agar setiap orang memiliki hak kehidupan seks yang sehat dan tentunya bebas dari kekhawatiran (tidak hamil). Penjualan kondom pun meningkat tajam.
Sungguh miris perayaan Valentine dari tahun ke tahun kian merusak generasi ini. Semburat merah jambu ini justru dibalut dengan kemaksiatan yang luar biasa. Momen mengekspresikan hanyalah bualan semata guna melancarkan nafsu atas nama cinta semu dan palsu yakni perzinaan. Kondisi ini tidaklah aneh di ranah sekularisme yang menganggap bahwa naluri menyukai lawan jenis harus disalurkan dengan kebebasan.
Miris, Valentine yang dianggap sebagai ekspresi kasih sayang faktanya justru berbeda. Pacaran, mabuk-mabukan, hingga perzinaan menjadi bagian di dalamnya. Jika ditelaah sebenarnya budaya Valentine berasal dari budaya paganisme. Budaya penyembahan dewa dewi pada perayaan Lupercalia, yaitu rangkaian upacara pensucian masa Romawi Kuno, pada masa itu–14 Februari–para pemuda mengundi nama-nama gadis di dalam kotak. Lalu setiap pemuda mengambil nama secara acak dan gadis yang namanya keluar harus menjadi “pasangannya” selama setahun untuk senang-senang dan objek hiburan. (The World Book Encyclopedia: 1998)
Ada pula pandangan bahwa Valentine itu merupakan festival Romawi yang didedikasikan untuk Faunus, Dewa Pertanian Romawi.
Dari sini sudah jelas bahwa budaya Valentine bukan berasal dari Islam. Valentine budaya paganisme yang sudah seharusnya bagi seorang muslim tidak untuk diikuti. Jauh-jauh hari Rasulullah Saw. mengingatkan umat-Nya.
Rasulullah bersabda, “Barang siapa meniru suatu kaum, maka ia termasuk dari kaum tersebut.” (HR At-Tirmizi)
Valentine merupakan bagian dari agenda Barat untuk merusak generasi muda pada umumnya. Namun, saat ini bukan hanya anak-anak muda secara umum, tetapi lebih ditujukan pada remaja muslim. Mereka diseret pemikirannya untuk menelan berbagai racun pemikiran Barat termasuk di dalamnya adalah budaya Valentine. Budaya Valentine dianggap hal yang wajib dilakukan walaupun hanya sekadar memberi permen, es krim, ataupun cokleat semata.
Kondisi ini pun kemudian dimanfaatkan para kapitalis dengan membuat berbagai pernak-pernik Valentine. Bahkan perayaan di hotel-hotel mewah pun tak ketinggalan.
Tentu hal ini semakin menambah parah karena negara yang saat ini menerapkan sistem sekularisme tidak mencegahnya malah mendukung para kapitalis itu meraup keuntungan dari kerusakan generasi kita.
Jadilah Valentine sebagai momen pembuka petaka bagi generasi muda. Generasi yang seharusnya dipersiapkan untuk mengisi hari dengan rasa kecintaan kepada ilmu dan ketaatan. Mirisnya justru dibiarkan terbuai dengan kenikmatan semu semburat merah jambu yang berujung kelabu baik di dunia maupun di akhirat nanti.
Oleh karena itu, sudah selayaknya bagi kita menolak Valentine Day beserta sistem pengusungnya yakni sekularisme. Selain itu juga diperlukan perubahan mendasar agar generasi ini bisa diselamatkan menggantinya dengan sistem Islam kafah. Sistem yang akan menjaga, mengedukasi dan menaungi rakyatnya khususnya generasi muda.
Wallahualam bissawab.
1 thought on “Di Balik Ritual Semburat Merah Jambu
Pembawa Petaka Generasi Muda”