
Oleh: Ust. Lathief Abdallah
(Pengasuh Pondok Baitul Hamdi)
Pelitasukabuminews.com – Isra adalah diperjalankannya Nabi Muhammad Saw di waktu sebahagian malam dari Masjid Haram (Makah) ke Masjid Aqsha (Palestina). Kemudian dilanjutkan dengan mi’raj yaitu dinaikannya nabi Saw ke langit (Sidratul Muntaha) menghadap Allah Swt. Menurut sebagian besar sejarawan Isra Mi’raj terjadi tanggal 27 Rajab Tahun ke-10 kenabian.
Isra Mi’raj merupakan salah satu mukjizat sebagai bukti kenabian dan kerasulan Muhammad Saw. Dalam Al-Qur’an, peristiwa yang hanya dialami Rasulullah Saw ini disebutkan dalam dua ayat secara terpisah. Tentang Isra dijelaskan oleh Al-Qur’an dalam surat al-Isra, “Mahasuci Dzat yang telah menjalankan hamba-Nya (Muhammad) pada waktu sebagian dari malam hari dari masjid Al-Haram ke masjid Al-Aqsha yang telah Kami beri berkah sekelilingnya agar Kami dapat menunjukkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda kebesaran Kami.”(Q.S. Al-Isra (17): 1)
Sedang Mi’raj terdapat dalam surat An-Najm. “Dan sesungguhnya Muhammad telah melihat Jibril itu (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain, (yaitu) di Sidratul Muhtaha.” (Q.S. An-Najm(53): 13-14).
Menurut keterangan hadits, bahwa saat perjalanan menuju Masjid Aqsho nabi menggunakan kendaraan Buraq, sedangkan ketika naik ke langit (Sidratul Muntaha) menggunakan Mi’raj, yaitu sarana yang digunakan para malaikat hilir mudik siang dan malam antara langit dan bumi saat menerima tugas dari Allah Swt. seperti tert dalam surat Al-Ma’arij. Dalam perjalanan tersebut nabi disertai penghulu para malaikat yaitu malaikat Jibril.
Tidak seorang pun menyaksikan langsung peristiwa Isra’ Mi’raj. Secara rasional pun tidak bisa dibuktikan dengan akal, karena itu ia termasuk bagian aqidah sam’iyyah, yaitu sesuatu yang diimani berdasarkan informasi wahyu (Qur’an dan Hadits).
Secara ilmiah, menurut Prof. Fahmi Amhar (pakar geospasial) dalam tulisannya “Isra’ Mi’raj dalam dimensi sain”, para ilmuwan belum bisa menemukan teorinya, terlebih lagi pada peristiwa Mi’raj. “Dimensi sains karena perjalanan Isra’ saja yang menempuh jarak kurang lebih 1250 km pada masa itu sudah sesuatu yang mustahil ditempuh dalam semalam. Memang saat ini, dengan pesawat supersonik, perjalanan itu dapat ditempuh 15 menit saja. Namun peristiwa mi’raj ke langit tentu tetap misterius.
Andaikata perjalanan pergi-pulang ke langit itu ditempuh dari ba’da Isya (sekitar pukul 20) sampai menjelang Shubuh (sekitar pukul 04), maka jarak bumi – langit adalah 4 jam. Bila Nabi beserta malaikat jibril bergerak dengan kecepatan cahaya ( 300.000 kilometer per detik), maka jarak yang ditempuh baru sekitar 4.320.000.000 Km, atau baru di sekitar Planet Neptunus. Belum keluar tata surya. Bintang terdekat Proxima Alpha Centaury ada pada jarak sekitar 4,2 tahun cahaya. Tidak mungkin dikunjungi pergi-pulang dalam semalam. Apalagi ada kendala Teori Relativitas Khusus. Menurut Einstein, materi yang bergerak mendekati kecepatan cahaya, maka akan mengalami kontraksi ukuran sampai mendekati nol, dan pada saat yang sama massanya mendekati tak terhingga. Apakah Nabi mengalami hal itu?
Misteri ini tentu makin menantang para ilmuwan muslim untuk menjawab dengan berbagai teori fisika yang dikenal saat ini. Teori Einstein sudah terbukti ribuan kali di dunia fisika partikel, dan juga pada satelit yang mengorbit bumi 90 menit sekali sambil membawa jam atom. Ada juga yang mencoba memahami dengan ayat 70 Surat al-Maarij, “Malaikat-malaikat dan Jibril naik kepada Rabb dalam sehari yang kadarnya lima puluh ribu tahun”, sebagai jarak ke langit adalah 50.000 tahun cahaya. Malaikat mampu melesat dengan laju jauh di atas cahaya (Faster Than Light)”
Hikmah Dan Tujuan Isra Mi’raj
Dr. Abdurrahman Al-Baghdadi dalam bukunya “Refleksi Sejarah Terhadap Dakwah Masa Kini”, menjelaskan hikmah dan tujuan Isra dan Miraj, sebagi berikut;
Pertama tujuan Politik. Fakta kekuasaan politik Jazirah Arab saat Nabi diutus ada pada dominasi agama Yahudi dan Nasrani. Sistem yang rusak dan kepemimpinan yang zalim menuntut adanya pergantian. Akar kerusakannya diungkap oleh Al-Qur’an. Allah Swt. berfirman, “Maka celakalah orang-orang yang menulis kitab dengan tangan mereka (sendiri) kemudian berkata, Ini dari Allah, (dengan maksud) untuk menjualnya dengan harga murah.”(QS.Al-Baqarah (2): 79)
Dalam perjalanan Isra, sebelum ke Baitul Maqdis (Masjid Aqsha) nabi mampir ke Yatsrib (Madinah), Madyan, Thursina (Mesir) dan Betlehem (Palestina). Tempat-temoat tersebut menjadi bisyaah (kabar Wahyu) kelak akan menjadi wilayah kekuasaan Islam. Terbukti 2 tahun pasca Isra’ Mi’raj Nabi hijrah ke Yatsrib sekanjutnya disebut Madinah, dan beliau Saw menjadi pemimpin di sana yang di kemudian hari jazirah arab ada dalam kekuasaannya.
Kedua memperteguh kejiwaan Nabi. Sebelum Isra’ Miraj Nabi mengalami tekanan mental luar biasa dari orang-orang kafir terutama pada saat dua pendukung dan pelindung beliau yaitu paman dan istrinya wafat. Bully, intimidasi dan perskusi kian mengancam. Maka melalui Isra’ Mi’raj Allah memperlihatkan sebagian tanda kekuasaan dan kebesaran-Nya (Q.S. Al-Isra’ (17): 1), (An-Najm (56): 18). Agar kejiwaan dan mental nabi semakin kokoh.
Ketiga. Seleksi keimanan manusia. Keimanan perlu diuji apakah sebatas pengakuan atau ketundukan. Setelah Nabi Saw menyampaikan peristiwa yang beliau alami, orang kafir makin kencang kekafirannya, orang yang sejak awal imannya tidak serius mulai bergeser kepada kekufuran. “Dan Kami tidak menjadikan rukyah (penglihatan nyata) yang telah Kami perlihatkan kepadamu, melainkan sebagai ujian bagi manusia hanyalah menambah besar kedurhakaan mereka.” (Q.S. Al-Isra: 60)
Akan tetapi mereka yang imannya totalitas tanpa ada keraguan sedikitpun membenarkan semua yang disampaikan wahyu kepada Nabi Muhammad saw. Sikap Abu Bakar mewakili orang-orang yang beriman secara total. Saat beliau ditanya tentang peristiwa Isra’ Mi’raj dimana sebagian orang meragukannya, dia menjawab dengan tegas. “Apa yang mesti kalian herankan dari peistiwa tersebut? Demi Allah, ia (Rasulullah saw.) malah telah mengabarkan kepadaku suatu kabar (Wahyu) berasal dari langit (dari Allah Swt.) ke bumi hanya dalam tempo sekejap, baik waktu malam ataupun siang, dan aku membenarkannya. Ketahuilah, kejadian itu jauh lebih mengherankan dari peristiwa yang kalian tanyakan ini!“ (H.R. Hakim)
Sebagaimana disebutkan di atas bahwa Isra’ Mi’raj termasuk perkara sama’iyyah, seperti halnya keyakinan pada alam akhirat, surga dan neraka semua berdasar pada informasi dari Qur’an dan Hadits Rasulullah Saw.
Keempat misi universal kemasyarakatan. Disebutkan dalam hadits bahwa di Baitul Maqdis Nabi mengimami shalat berjamaah yang makmumnya para nabi dan rasul sejak nabi Adam As. Ini menunjukkan pengakuan akan misi syari’at Muhammad saw, untuk seluruh manusia. Berbeda dengan para utusan sebelumnya yang terbatasi oleh zona bangsa tertentu. “Dan Kami tidak mengutusmu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya,” (QS. Saba’ (34): 28)