
Oleh Ranti Nuarita, S.Sos.
(Aktivis Muslimah)
Thrifting, ya sebuah istilah yang rasanya sudah tidak asing di telinga masyarakat Indonesia. Berasal dari kata thrif yang berarti hemat, berhemat, penghematan. Adapun dalam konteks fashion istilah tersebut digunakan untuk menyebut barang bekas yang masih dalam kondisi layak pakai, berupa pakaian ataupun benda lainnya yang dinilai cukup layak untuk dibeli meski kondisinya bekas. Baru-baru ini fenomena thrifting kembali mencuat lantaran berhasil membuat orang nomor satu di Indonesia geram.
Sebagaimana mengutip dari republika.com, Minggu (19/04/2023) Presiden Joko Widodo dibuat geram dengan menjamurnya impor pakaian bekas atau thrifting. Menurut presiden, adanya thrifting berakibat mengganggu industri tekstil dalam negeri. Bahkan demi mengatasi thrifting presiden memberikan instruksi kepada jajarannya yang terkait agar bertindak mengusut tuntas serta mencari akar permasalahan menjamurnya impor pakaian bekas ke Indonesia.
Beberapa tahun lalu sebelum presiden menginstruksikan demikian, Kementerian Perdagangan sendiri telah menerbitkan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 18 Tahun 2021 mengenai barang dilarang ekspor dan barang dilarang Impor. Disebutkan dalam peraturan pasal 2 ayat 3 tertulis bahwa barang yang dilarang impor, salah satunya ialah berupa kantong bekas, karung bekas, dan pakaian bekas. (Sumber: peraturan.bpk.go.id)
Saat ini pemerintah memang sedang terus berusaha untuk fokus memusnahkan pakaian bekas impor. Sementara itu, Kementerian Perindustrian pun menilai bahwa adalah baju bekas impor atau thrifting berdampak pada industri kecil menengah (IKM). Karena IKM yang memiliki modal terbatas harus bersaing dengan thrifting. Thrifting dijual dengan harga murah sementara baju hasil IKM tidak dapat dijual dengan harga yang lebih kompetitif karena merupakan produk baru.
Thrifting dalam hal ini bisnis pakaian bekas impor memang bukan hal baru, maraknya impor pakaian bekas sendiri sebetulnya sudah terjadi sejak lama. Padahal barang bekas impor mengandung bakteri yang dapat menimbulkan berbagai persoalan terkait dengan potensi penyebaran penyakit dari pakaian bekas tersebut. Meski begitu, tidak lantas membuat masyarakat tidak membeli pakaian thrifting.
Keinginan untuk tampil modis, dengan menggunakan pakaian bermerek yang harganya murah sukses membuat barang thrift menjadi primadona, pun erat kaitannya dengan status gengsi, di mana beberapa pakaian bekas merek tertentu misalnya Nike, H&M, juga Adidas, cenderung memiliki status sosial yang tinggi sehingga mendorong lebih banyak orang untuk membeli. Fenomena ini membuktikan bahwa masyarakat hari ini cenderung memiliki gaya hidup hedon dan brand-minded. Di sisi lain, tren thrifting juga menunjukkan potret kemiskinan yang terjadi di tengah rakyat yang membutuhkan pakaian dengan harga murah.
Maka sungguh aneh jika pakaian thrifting sekarang dipersoalkan bahkan oleh presiden, apalagi seruan itu dilakukan setelah industri tekstil mati. Mirisnya lagi alasan memberantas mengimpor barang bekas jauh dari nalar yaitu menganggu UMKM, padahal pada umumnya UMKM hanya memperpanjang rantai produksi. Tentunya perlu dipertanyakan apakah hal ini bentuk pembelaan pada importir kain yang notabene hanya segelintir orang? Atau untuk importir pakaian branded?
Berbagai kondisi tersebut sejatinya menunjukkan tidak adanya upaya serius untuk menyelesaikan masalah thrifting ini dari akarnya, yakni masalah kemiskinan, konsumerisme, gaya hidup hedon, juga brand-minded di kalangan masyarakat. Sebaliknya justru cenderung lebih mementingkan pencitraan juga kebijakan membela pengusaha. Lagi-lagi bukan tanpa alasan para pemangku kebijakan berbuat demikian, sebab diakui ataupun tidak masalah yang ada saat ini memang merupakan efek domino dari penerapan sistem kapitalisme di negeri ini.
Sangat berbeda dengan sistem Islam sebagai sistem shahih yang turun dari Allah Ta’ala, melalui penerapan sistem ekonomi Islam akan menjamin terpenuhinya kebutuhan primer (pokok) individu secara menyeluruh yaitu sandang, pangan, dan papan. Untuk jaminan pemenuhan kebutuhan pokok pemenuhannya dilakukan dengan mekanisme berikut;
Pertama, syariat Islam mewajibkan laki-laki yang mampu bekerja untuk memberi nafkah kepada diri dan keluarganya. Kewajiban ini tidak serta-merta dibebankan begitu saja kepada setiap individu laki-laki, tetapi negara yang menerapkan sistem ekonomi Islam akan memfasilitasi dengan pengadaan lapangan pekerjaan yang luas.
Kedua, apabila laki-laki tidak memiliki kemampuan untuk bekerja dan mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan primer, maka syarak mewajibkan ahli waris atau kerabat dekat untuk membantu saudaranya.
Ketiga, jika dalam kondisi seseorang tidak mampu juga tidak memiliki kerabat dekat yang bisa memberikan pemenuhan pokok. Maka syariat Islam mewajibkan negara untuk menjamin pemenuhan kebutuhan rakyatnya dengan anggaran bersumber dari baitulmal (kas negara). Adapun sumber dana yakni melalui, harta milik negara, umum, juga zakat. Jaminan pemenuhan pokok tersebut diberikan kepada seluruh rakyatnya baik muslim maupun non muslim.
Selain itu, negara yang menerapkan sistem Islam secara paripurna juga menjamin pemenuhan pokok masyarakat, mulai dari pendidikan, kesehatan, juga keamanan, yang direalisasikan pula melalui baitul mal melalui pos kepemilikan umum dan fa’i-kharaj yang jumlahnya sangat besar.
Tampak jelas bagaimana keandalan Islam dalam memenuhi kebutuhan pokok rakyatnya. Dengan pengaturan tersebut tentu tidak akan ada individu membeli barang bekas yang berpotensi berbahaya bagi kesehatan, sebab kebutuhan primernya terpenuhi dengan baik dan sejahtera. Begitulah Islam sebagai satu-satunya sistem yang turun dari Allah Swt. memiliki tata cara yang lengkap mengatasi segala masalah yang menyangkut kehidupan manusia.
Wallahualam bissawab.