
Oleh: Ust. Lathief Abdallah
(Pengasuh Pondok Baitul Hamdi)
Dalam hadits sahih, Nabi bersabda, bahwa Allah berfirman, ‘Semua amal anak Adam untuknya kecuali puasa. Ia untuk-Ku dan Aku yang akan membalasnya.” (HR. Bukhari).
Menurut Syekh Muhamad Bakr Ismail dalam kitabnya Fiqhul wadhih jilid 1 hal 529 dimaksud hadits “puasa itu untuk Allah”, karena tersembunyi dari penglihatan manusia sehingga jauh dari sipat riya, totalitas ikhlas kepada Allah SWT. Berbeda dengan ibadah lain seperti shalat, sedekah atau haji tidak bisa lepas dari penglihatan manusia sehingan rentan mendapat atau mengaharap pujian dari manusia.
Puasa melatih kita untuk ikhlas, yakni ketika beribadah hanya mengharap ridha dan pahala dari Allah semata. Ikhlas adalah sifat dari hati yang bersih. Kebalikan dari sifat riya yang lahir dari hati yang kotor. Para ulama banyak membahas masalah hati, dan bab ikhlas menjadi bagian pertama yang diuraikan.
Betapa urgentnya masalah kebersihan hati. Karena nabi mengatakan bahwa segala amalan akan baik atau buruk tergantung baik tidaknya hati. Ibnu Qudamah dalam kitab Minhajul ‘Abidin menyebut hati ibarat raja sedangkan anggota tubuh ibarat para perajuritnya yang akan melakukan sesuatu sesuai titah raja. Hingga imam Ghazali menyelami samudra hati dan mendeskripsikannya dalam tiga jilid kitab bernama Ihyaulumuddin.
Bagaimana tidak penting! Seperti disebut dalam hadits nabi, amalan yang mengorbankan tenaga harta dan jiwa seperti berdakwah, sedekah, haji, bahkan jihad pun akan sia-sia kelak bahkan justru mengantarkan pelakunya ke neraka. Hanya karena melakukan amalan besar tersebut atas dorongan hati yang bukan karena Allah SWT.
Narasi tentang pentingnya kebersihan hati dibanding kuantitas amal ‘dipragmenkan’ oleh seorang lelaki pada zaman Nabi. “Akan datang lelaki ahli surga” Kata nabi saat berkumpul dengan para sahabat. Perkataan yang sama dalam tiga waktu berbeda terhadap orang yang sama. Lelaki itu sederhana dalam penampilan biasa dalam ibadahnya. Sampai Seorang sahabat, Abdullah Ibnu Amr berupaya nginap tiga malam di rumahnya hanya untuk ‘mengintip’ amalan apa yang dilakukan lelaki itu hingga ia disebut tiga kali sebagai rajulun min ahlil jannah, lelaki ahli surga.
Abdullah ibn Amr tak melihat keunggulan dalam hal ibadah, bahkan ketika abdullah shalat malam lelaki itu masih tidur nyenyak. Sebelum pamit Ia menanyakan langsung rahasia amal yang dimilikinya. Jawaban lelaki itu ” Aku seperti yang engkau lihat hanya aku tidak menyimpan dalam hati rasa benci dan iri kepada kebaikan yang diterima orang lain”
Jelas sekali lelaki ahli surga itu memiliki hati yang bersih kendatipun penampilannya sederahna dan ibadahnya seperti biasa.
Kelak, yang akan diterima dan dimuliakan saat menghadap Allah mereka yang memiliki hati yang bersih. “(Yaitu) di hari harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih” (QS. Asy Syu’aro’: 88).
Dengan demikian puasa merupakan sarana untuk mengasah dan membersihkan hati hingga akan melahirkan sikap taqwa, la’alakum tataqun.