
Oleh Hani Iskandar
(Ibu Pemerhati Ummat)
Pelitasukabuminews.com – Sebagai negara yang kaya akan sumber daya alam (SDA) yang beragam nan melimpah, Indonesia semestinya mampu mencukupi semua kebutuhan primer rakyatnya orang per orang. Bukan hanya kebutuhan pangan, tetapi juga sandang dan papan. Bahkan kondisi alam yang mendukung pembaharuan SDA ini, memungkinkan sekali menjadikan Indonesia sebagai negara eksportir besar yang mampu menyuplai berbagai kebutuhan negara-negara lain setelah tercukupinya kebutuhan dalam negeri dengan sempurna, sehingga income/pendapatan negara bertambah dengan adanya kegiatan ekspor.
Namun sangat disayangkan, pada kenyatannya, Indonesia justru secara masif melakukan kegiatan impor pada beberapa komoditas pangan yang secara logika tidak seharusnya dilakukan, seperti impor beras, garam, gula, dan yang lainnya. Di saat yang sama, rakyat masih kesulitan untuk memenuhi kebutuhan pangannya sehari-hari, akibat kurangnya stok bahan pangan atau mahalnya harga bahan-bahan tersebut karena merupakan hasil impor dari luar negeri. Sebagaimana pemberitaan terbaru yang beredar di jagat maya, bahwa pemerintah akan melakukan impor gula kristal putih sebanyak 215.000 ton untuk tahun ini.
Mengutip penuturan Kepala Badan Pangan Arief Prasetyo Adi, bahwa impor gula dilakukan secara bertahap dan ahap pertama dilakukan antara Maret–April dengan tujuan untuk menjaga persediaan dan kestabilan harga selama bulan Ramadan (finance.detik.com, 26/03/2023)
Pemerintah berdasarkan perhitungannya dalam hal ini beranggapan bahwa pasokan gula untuk tahun 2023, terutama selama Ramadan akan mengalami kenaikan dari biasanya sehingga memerlukan impor yang cukup besar.
Namun, berlawanan dengan pendapat Ketua Umum Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) Soemitro Samadikun menyatakan bahwa para petani tebu menolak keputusan pemerintah untuk impor tahun 2023. Menurutnya, para petani tebu Indonesia yang meyakini bahwa stok gula akan cukup, terlebih pada Maret–April 2023 akan terjadi panen, sehingga keputusan impor gula yang diambil pemerintah dianggap keliru dan akan merugikan para petani tebu, karena impor gula dari luar berpotensi membuat harga tebu petani anjlok. (katadata.co.id, 29/12/2022)
Perbedaan pendapat antara pemerintah dengan para ahli, dalam hal ini terkait pangan, menunjukkan adanya ketidaksesuaian data antara persediaan dan kebutuhan riil masyarakat, serta kekurangsiapan strategi pemerintah dalam memenuhi kebutuhan masyarakat terutama di momen tertentu seperti Ramadan dan momen-momen lainnya yang bersifat rutin setiap tahun. Juga menunjukkan adanya ketidaksinergisan antara pemerintah dengan rakyat dalam mengawal semua kebutuhan masyarakat, sehingga terkesan masing-masing tanpa koordinasi yang solid.
Lalu pertanyaannya. Benarkah impor gula ini benar-benar murni untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, atau sekadar menjawab tuntutan para pemodal kapitalis yang menguasai perusahaan-perusahaan pangan besar, sehingga melancarkan arus perdagangannya terutama saat rakyat sangat membutuhkan seperti sekarang ini?
Jika memperhatikan, luasnya lahan pertanian tebu Indonesia, sebenarnya pemerintah mampu mencukupi segala kebutuhan pangan tanpa kecuali gula bagi seluruh rakyat, asalkan prosesnya dari hulu hingga ke hilir benar-benar dikelola oleh Indonesia sendiri tanpa menyerahkan ke pihak swasta bahkan asing. Namun, tampaknya pemerintah belum memaksimalkan upaya pengelolaan tersebut dan lebih cenderung mengikuti mekanisme pasar para perusahaan dagang besar yang berkutat di sektor pangan tersebut.
Walhasil, impor yang dilakukan Indonesia tampaknya lebih kepada tuntutan pasar daripada karena kebutuhan masyarakat. Pada akhirnya petani dalam negerilah yang terkena dampaknya karena harus bersaing dengan produksi gula luar negeri bahkan mengalami kerugian disebabkan pemasaran gula hasil produksinya terjegal kegiatan impor.
Negara agraris seperti Indonesia seharusnya mampu mencapai swasembada/ketahanan hingga kedaulatan pangan, jika saja melakukan berbagai upaya maksimal dan sungguh-sungguh semata-mata karena dorongan untuk menyejahterakan masyarakat.
Sebagaimana yang disabdakan Rasulullah Saw. bahwasannya kaum muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air, dan api (HR. Abu Dawud dan Ahmad)
Dalam hal ini dijelaskan kedudukan kaum muslim (mayoritas penduduk Indonesia adalah muslim), memiliki hak atas manfaat dari harta milik umum, salah satunya adalah penggunaan lahan/tanah untuk diambil manfaatnya berupa hasil pangan dan lain sebagainya. Seorang penguasa harus menjalankan salah satu tugasnya yakni memenuhi segala kebutuhan rakyat sesuai hadis Rasulullah Saw. tersebut serta menjalankan sistem yang mengatur regulasi produksi, distribusi, dan konsumsi secara seimbang dan tidak merugikan pihak manapun, termasuk para petani sebagai produsen.
Sehingga dari hal ini, kita bisa menyimpulkan dorongan yang hadir bagi penguasa saat memenuhi hajat rakyatnya adalah dorongan iman dan ketaatan, bukan hanya sekadar menjadi regulator yang memenuhi permintaan para pengusaha kapitalis untuk impor besar-besaran tanpa memperhatikan kebutuhan domestik serta daya beli dan daya jual masyarakatnya.
Wallahualam bissawab.