
Oleh Rizka Adiatmadja
Praktisi Homeschooling
Pelitasukabuminews.com – Ojol riwayatmu kini, dihantam terus-terusan dan merugi. Transportasi online yang teramat digandrungi, menyisakan kisah di belakang layar yang minim regulasi. Penghasilan yang tidak sepadan, bahkan menurun dengan signifikan. Potongan yang begitu besar dari pihak aplikator–kisaran 22 hingga 40% untuk setiap orderan–membuat pengemudi ojol semakin dirundung tekor.
Dikutip dari Tempo – Ketua Serikat Pekerja Angkutan Indonesia (SPAI) Lily Pujiati memberikan pernyataan bahwa potongan komisi yang diterapkan aplikator terhadap para pengemudi ojol terlalu tinggi. Lily pun mengungkapkan keprihatinan bahwa penghasilan pengemudi ojol hingga saat ini semakin memburuk karena regulasi batas maksimal komisi kembali menjadi 20%. Bahkan persentase yang sudah ditetapkan tersebut kerap dilanggar karena pihak aplikator tetap saja menaikkan biaya potongan di atas 20%. (Tempo,12/04/2023)
Mengapa batas maksimal komisi kembali menjadi 20%? Jawabannya berdasarkan Keputusan Menteri Perhubungan (Menhub) No. 667/2022 potongan komisi telah diturunkan dari 20% menjadi 15%. Namun, hanya dalam waktu dua bulan kebijakan itu berubah dan kembali ke potongan komisi sebesar 20% melalui keputusan Menhub No. 1001/2022.
Sejatinya perubahan tersebut tidak mengindikasikan memiliki tujuan untuk menyejahterakan pengemudi ojol, regulasi yang ada cenderung menguntungkan pihak aplikator. Kemitraan yang melekat antara pengemudi ojol dengan pihak aplikator, semakin mempertegas praktik yang merugikan untuk pengemudi ojol–yang statusnya bukan sebagai pekerja–sehingga menjadi pihak yang sangat dirugikan karena ketidakpastian penghasilan.
Sedangkan pihak aplikator terus melakukan upaya agar memiliki profit besar-besaran. Alhasil pengemudi ojol yang menjadi sapi perah untuk memenuhi “rakusnya” pihak aplikator. Pengemudi ojol tidak mendapatkan upah bulanan yang layak. Jangankan punya standar upah minimum, untuk mendapatkan jam kerja normal pun diibaratkan jauh panggang dari api. Mereka mengorbankan waktu dari delapan jam, bahkan mencapai 17 jam.
Bagaimana dengan pengemudi ojol perempuan? Sungguh teramat menyedihkan, di kala mereka jelas-jelas sedang dieksploitasi, sejahtera itu pun hanyalah buaian mimpi. Ketiadaan hak cuti seperti untuk kehamilan, melahirkan, menyusui, atau bahkan haid, itu dihitung sebagai off bid. Sehingga bisa dipastikan ketika mereka seharusnya cuti–karena misalkan hamil dan melahirkan·dihitung tidak masuk kerja. Pengemudi ojol perempuan tidak akan mendapatkan penghasilan. Jika melihat esensi UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan maka pihak aplikator benar-benar tidak memperhatikan hak-hak pengemudi ojol.
Sesungguhnya aplikator hanya fokus untuk mengembangkan bisnisnya. Eksistensi lebih diunggulkan daripada mengedepankan target kesejahteraan. Meskipun di awal trennya ojek online ini mendapatkan pujian–karena sudah membuka lapangan kerja di sektor riil–tetapi pada akhirnya semakin kentara jika praktik bisnis ini hanya merugikan para pengemudi semata.
Banyak para pengemudi ojol yang akhirnya memilih berhenti. Bagi pihak aplikator itu tidak menjadi hal yang merugikan karena gelombang kencang dari adanya pengemudi baru besar-besaran datang. Sehingga keluar masuknya pengemudi tidak menghambat pesatnya bisnis tersebut
Karakteristik kapitalistik yang tidak bisa disangkal. Mereka meraup keuntungan yang setinggi-tingginya dengan modal dan upaya yang serendah-rendahnya. Praktik bisnis yang hanya menguntungkan satu pihak dan menzalimi pihak lainnya.
Gelombang PHK rentan terjadi pada perusahaan berbasis teknologi ini. Banyak contoh yang bisa kita telisik, seperti halnya Google dan Facebook yang bertarap internasional, itu pun terjadi pada bisnis aplikasi lokal seperti RuangGuru. Istilah “bakar uang” atau burn rate menjadi penyebab utama mereka melakukan PHK. Bisnis berbasis teknologi memang riskan, bahkan keberadaannya akan senantiasa dibayang-bayangi krisis dan gejolak ekonomi.
Sebuah realitas yang membuktikan bahwa bisnis yang dibangun di atas pijakan lemah, tak memiliki fondasi kukuh, semua rentan rubuh. Pemerintah yang mengusung demokrasi ini menjadi regulator yang ringkih dan tertatih, jangankan menyejahterakan pengemudi ojol, untuk bisa tegak memangku aturan pun seakan-akan tidak berdaya.
Kita harus bisa mengurai dan memetakan dari perspektif Islam, terkait permasalahan dan hak-hak pengemudi ojol ini. Aturan kerja sama antara pengusaha dengan karyawan (mitra kerja) haruslah sesuai hukum syarak. Sistem kontrak harus jelas dan detail sedari awal. Seorang mitra kerja atau karyawan saat sudah menunaikan kewajibannya, tentu pengusaha harus memberikan gaji dengan adil dan menghindari adanya gharar atau ketidakjelasan yang akan membuat hak karyawan dari segi gaji terkurangi oleh potongan demi potongan komisi yang merugikan.
Kejelasan akad dan penunaian hak serta kewajiban yang sesuai akan melahirkan banyak keberkahan. Negara pun tidak boleh tinggal diam atau berat sebelah–hanya cenderung mendengar pihak pengusaha–harus adil dan seimbang bahkan melakukan asistensi pengawasan agar hak-hak umat per individu terpenuhi seluruh kebutuhannya.
Kejelasan akad yang harus sesuai dengan hukum syarak serta tanggung jawab negara terkait pemenuhan kebutuhan rakyatnya, di dalam sistem Islam keduanya sudah diatur dalam tata aturan yang tegas dan jelas. Sehingga tidak ada pihak yang dirugikan. Masyarakat tidak hanya mengandalkan gaji dari hasil pekerjaannya karena negara sudah menjamin terpenuhi setiap kebutuhan per individu dalam masyarakat.
Wallahualam bissawab.