
Oleh : Ustadz Lathief Ab Pengasuh Pondok Baitul Hamdi
Pelitasukabuminews.com – Ukhwah atau persaudaraan khususnya sesama muslim merupakan kewajiban syariat. Islah juga kewajiban yang sama, yaitu memperbaiki hubungan di saat ada keretakan agar wihdah atau persatuan sanantiasa terjaga.
Demikian yang dipesankan oleh Qur’an dan Sunah, “Sungguh kaum Mukmin itu bersaudara. Karena itu damaikanlah saudara-saudara kalian”(QS al-Hujurat [49]: 10). “Berpegang teguhlah kalian pada tali (agama) Allah dan janganlah kalian berpecah-belah”(QS Ali ‘Imran [3]: 103).
Nabi mengumpamakan persaudaraan muslim itu bagaikan sebuah bangunan (HR. Bukhari). Satu material bangunan baik kecil atau besar saling menguatkan dan mengokohkan yang lainnya. Bagaikan satu anggota tubuh (HR Muslim). Satu bagian tubuh dengan bagian lainya saling membutuhkan, saling menunjang dan saling merasakan baik suka maupun duka.
Muhamad Bin Abdillah Aljardani dalam Kitab Al jawahir Alluluiyyah hal 354, menjelaskan bahwa persaudaraan berbasis keimanan (al ukhuwah ad diniyah) posisinya jauh lebih tinggi daripada pesaudaraan berdasar keturunan (al ukhuwah an nasabiyah). Karena persaudaraan atas dasar keimanan membawa konsekwensi kebersamaan abadi kelak di akhirat.
Banyak hadits lain yang menyebut bentuk-bentuk praktis dari manifestasi ukhuwah islamiyah di antara sesama Muslim secara individual. Di antaranya adalah: larangan meng-ghîbah, memfitnah, memata-matai (tajassus), membuka aib dan menipu sesama Muslim; larangan berdusta dan kikir kepadanya; larangan menghina, mencela, melanggar kehormatan dan membunuh sesama Muslim; dan lain-lain.
Sebaliknya, banyak hadis yang justru mendorong seorang Muslim bersikap lemah-lembut terhadap sesama Muslim, bersahabat, berkasih sayang, saling mengucapkan salam dan berjabatan tangan, saling memberikan hadiah, saling mengunjungi, dan lain-lain.
Saat ini kaum muslimin dalam kondisi krisis ukhwah, minus islah dan berakibat lemahnya wihdah. Di antara faktornya adalah buruknya pemahaman dalam beragama. Tidak mengerti mana ushul (pokok) mana furu'(cabang), mana yang ittifak (disepakati) mana yang ikhtilaf (perbedaan). Seakan semua harus sama dengan pemahamannya. Jika ada yang berbeda dinggap ‘laisa mina’, bukan ahlus sunnah, tapi ahlu bid’ah. Bahkan ada yang sampai ancam bunuh hanya karena beda penentuan lebaran.
Demikian juga faktor politik. Pilihan capres dan partai sering membuat keretakan berkepanjangan. Sebutan cebong vs kadrun pasca pilpres 2014 masih melekat hingga hari ini 2023. Klaim ahlus sunnah oleh sebagain, misalnya hanya karena sama pandangan politik walau terhadap orang baru daftar anggota yang juga karena kepentingan politik. Sebaliknya, sekalipun ulama dianggap bukan ahlus sunnah padahal sama pemahaman keagamaannya hanya karena berbeda pandangan politik.
Disisi lain kecendrungan fanatisme kelompok (‘ashabiyah) kian menguat. Seruan – seruan untuk mengagungkan kelompoknya sekaligus menihilkan kelompok lain terus didengungkan. Seakan tiada ukhwuah kecuali pada kelompoknya, tiada Islam kecuali dalam kelompoknya. Padahal keberadaan kelompok atau jama’ah itu untuk membesarkan Islam. Semestinya yang diserukan dan diagungkan itu Islamnya bukan jama’ah atau kelompoknya (QS.Alimran (3):104). Sementara ‘ashabiyah atau panatisme golongan itu sendiri bukanlah karakter umat Nabi (HR.Abu Dawud)
Untuk mengembalikan ukhwuah, menumbuhkan islah dan menjaga wihdah tidak boleh lepas dari payung syariat. Karena berpegang teguh pada syariat itulah semua akan kokoh. Sebaliknya jika lepas dari syariat dan berpaling pada selainnya, dari situlah pertentangan, permusuahan dan perpecahan tak berkesudahan.
“Yang diperintahkan ini adalah jalanku yang lurus (Islam). Karena itu, ikutilah jalan tersebut, dan janganlah kalian mengikuti jalan-jalan lain karena jalan-jalan itu bakal mencerai-beraikan kalian dari jalan-Nya. Yang demikian adalah diperintahkan Allah kepada kalian agar kalian bertakwa” (QS al-An‘am [6]: 153).