
Oleh: Ust.Lathief Abdallah
(Pengasuh Pondok Baitul Hamdi)
Pelitasukabuminews.com – Berhaji bukan saja memenuhi dimensi ruhiyah (spiritual), tapi juga mengandung dimensi siyaasiyah (politik) dan perjuangan. Melalui ibadah haji, Islam meleburkan umatnya menjadi satu kesatuan tanpa perbedaan suku, ras, warna kulit maupun strata sosial. Allah gambarkan dalam firman-Nya:
Serulah manusia untuk mengerjakan ibadah haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki dan mengendarai unta yang kurus. Mereka datang dari segenap penjuru yang jauh (TQS al-Hajj [22]: 27).
Dan, saat Haji Wada’ lihatlah apa yang dipesankan oleh baginda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam saat khutbah beliau. Pertama, darah dan harta sesama Muslim terpelihara. Kedua, kewajiban menunaikan amanat, termasuk di dalamnya amanah kekuasaan untuk melayani dan melindungi umat. Ketiga, sistem ekonomi ribawi dihapuskan untuk selamanya. Keempat, menjaga aturan Islam dalam rumah tangga dan kewajiban mendidik istri. Kelima, kewajiban umat menjaga persatuan dan kesatuan. Keenam, kewajiban berpegang teguh pada Kitabullah dan Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam jika tidak ingin tersesat dan sebaliknya umat akan tersesat jika berpaling pada ajaran dan sistem kehidupan selain Islam.
Ketika Haji Wada’ turun firman Allah subhanahu wa ta’ala berisi ketetapan-Nya tentang kesempurnaan Islam sebagai sistem kehidupan:
Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kalian agama kalian, telah Kucukupkan nikmat-Ku untuk kalian dan telah Kuridhai Islam sebagai agama kalian (TQS al-Maidah [5]: 3).
Saat itulah Allah subhanahu wa ta’ala telah menetapkan Islam sebagai sistem kehidupan yang sempurna dan menyeluruh. Bukan saja mengatur ritual ibadah haji, tetapi juga mengatur semua aspek kehidupan. Karena itu tak ada aturan hidup yang sepatutnya dijadikan pilihan oleh kaum Muslim selain aturan Islam. Bukan hanya untuk ritual ibadah, tetapi juga untuk kehidupan sosial, ekonomi, politik dan kenegaraan. Semua harus diatur oleh syariah Islam.
Haji adalah inspirasi perjuangan. Dulu, haji menjadi salah satu stimulus yang menggerakkan semangat anti kolonialisme dan mendorong persatuan umat untuk melawan para penjajah Belanda. Di tahun 1888, petani Banten melawan Belanda dipimpin seorang tokoh haji. Sejak itu, Belanda mewaspadai orang-orang yang pulang haji.
Bahkan seperti diakui Snouck Hurgronje, “Para haji adalah wabah masyarakat pribumi. Mereka mendorong penduduk asli untuk melawan, menabur fanatisme dan kebencian terhadap orang Eropa.”
Setelah mendalaminya sampai ke Makkah, berpura-pura menjadi Muslim, Snouck kemudian menyarankan pembatasan haji dan mewaspadai jamaah haji yang baru pulang dari Tanah Suci. Di tahun 1916, ada ujian haji, jamaah yang baru pulang di-screening. Yang lulus diberi gelar haji, dan diberi pakaian khusus seperti peci dan jubah putih