
Oleh: Ust.Lathief Abdallah
(Pengasuh Pondok Baitul Hamdi)
Pelitasukabuminews.com – Tahun 1444 H akan segera berakhir. Kita akan memasuki Tahun Baru1445 H. Sebagian umat Islam menjadikan Tahun Baru Hijrah sebagai momentum untuk melakukan muhasabah, intropeksi diri atas kekurangan dan kekeliruan. Sekaligus mementum ‘mujahadah’, membuat program untuk masa depan agar lebih baik.
“Barangsiapa yang hari sekarang lebih baik daripada kemarin maka dia termasuk orang yang sukses” (HR. AlHakim)
Secara umum, al-hijrah merupakan isim dari fi’il ha-ja-ra. Maknanya adalah meninggalkan. Dalam hadits Nabi Muhammad SAW dinyatakan, misalnya: “Orang yang berhijrah adalah orang yang meninggalkan apa saja yang telah Allah larang.” (HR al-Bukhari)
Hijrah dalam pengertian ini, yaitu menjauhi segala yang dilarang Allah, wajib dilakukan oleh setiap Muslim.
Adapun hijrah dengan makna khusus sebagaimana diungkapkan oleh imama al-Qurthubi (w. 671 H);Hijrah adalah keluar atau berpindah dari negara yang diperangi (negara kufur) ke Negara Islam. (Al-Qurthuby, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, 5/349)
Hijrah semacam inilah yang dilakukan oleh Baginda Nabi Muhammad SAW dari Makkah (yang saat itu merupakan dârul kufr [negeri kufur]) menuju Madinah (yang saat itu telah berubah menjadi Dârul Islâm (Negara Islam).
Sejarah mencatat, penetapan kalender Islam sebagai penanggalan Islam mulai digunakan semasa Khalifah Umar bin al-Khathab r.a, sebagai awal Tahun Hijriah berpatokan pada peristiwa hijrah Rasul SAW dari Makkah ke Madinah.
Peristiwa Hijrah itulah yang mengubah wajah umat Islam saat itu. Umat yang awalnya ‘mustadl’afin’, tertindas dan teraniaya di Makkah selama 13 tahun, setelah hijrah ke Madinah dan menegakkan tatanan masyarakat yang islami dalam sebuah negara, berubah menjadi ‘khairu umat’, umat yang mulia, kuat dan disegani.
Sistem apapun, selain sistem Islam. adalah sistem jahiliyah. Termasuk sistem kehidupan sekuler yang diberlakukan di negeri-negeri kaum muslimin saat ini. Sistem sekuler hanya mengakui agama sebagai peraturan ibadah saja namun menolak agama sabagi aturan kehidupan seluruh aspek manusia. Syariah Islam hanya diterapkan dalam urusan nikah, talak, dan rujuk; dalam urusan haji dan zakat; dan sebagainya. Sebaliknya, dalam berbagai urusan lain yang lebih besar; ekonomi, politik, hukum, peradilan, sosial, politik, pemerintahan, dan lain-lain diabaikan bahkan ditolak.
Allah SWT mencela sikap manusia yang tidak mau memilih hukum-hukum Allah dan malah lebih memilih hukum jahiliyah. “Apakah sistem hukum jahiliyah yang mereka kehendaki? Siapakah yang lebih baik sistem hukumnya dibandingkan dengan sistem hukum Allah bagi kaum yang yakin?” (TQS al-Mâidah [5]: 50).
Karena itu, hijrah dalam pandangan Islam, berkaitan dengan upaya kaum Muslim, untuk segera meninggalkan sistem hukum jahiliyah ini menuju sistem Islam. Menerapkan hukum-hukum Allah dalam seluruh aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Dan inilah yang dilakukan oleh Nabi SAW saat di Madinah. Di sana beliau tidak sekadar menerima kekuasaan, karena kalau sekadar kekuasaan beliau bisa dapatkan di Makkah.
Kekuasaan beliau di Madinah tidak lain adalah kekuasaan yang menolong (shulthânan nashîran). hal ini sebagaimana turunnya ayat yang memerintahkan beliau hijrah: “Katakanlah, “Tuhanku, masukkanlah aku secara masuk yang benar, dan keluarkanlah (pula) aku secara keluar yang benar, dan berikanlah kepadaku dari sisi Engkau kekuasaan yang menolong.” (TQS al-Isrâ’ [17]: 80).
Kekuasaan “yang menolong” adalah kekuasaan yang dengan itu syariah Islam diterapkan secara kâffah. Imam Ibnu Katsir dalam Tafsîr al-Qur’ân al-Adzîm, 5/111, mengutip Qatadah (w. 117 H), saat menjelaskan kata ‘shulthanan nashiran’, kekuasaan yang menolong”, menyatakan: “… untuk membela Kitabullah, hudûd Allah, hal-hal yang difardukan Allah, dan untuk menegakkan agama Allah”.
Inilah esensi hijrah yang sebenarnya. Hijrah secara totalitas. Tinggalkan sistem jahiliyah, tegakkan sistem Islam dalam seluruh aspek kehidupan. []