
Oleh Hani Iskandar
Ibu Pemerhati Umat
Pelitasukabuminews.com – Saat ini merebak Kembali kasus virus antraks di beberapa wilayah Indonesia. Salah satunya di Dusun Grogol IV, Bejiharjo, Karangmojo, Gunungkidul, Yogyakarta. Penularan antraks ini menjadi perhatian banyak pihak. Sejauh ini telah terdapat tiga warga meninggal dunia dan 87 orang dinyatakan positif tertular. Dugaan awal penularan antraks ini berasal dari tradisi Brandu, yakni suatu tradisi memakan daging bangkai sapi yang mati. Kebanyakan hewan sapi mati dikarenakan sakit. Ini disampaikan Kementerian Pertanian, melalui Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Ditjen PKH (tribunnews.com, 09/07/2023)
Menelisik terkait tradisi Brandu, bagi sebagian wilayah di Indonesia, hal ini sudah menjadi kebiasaan yang dilakukan oleh warga setempat secara terus-menerus.
Selain telah menjadi adat, tradisi Brandu pun sering dilakukan masyarakat dengan alasan sosial. Tujuan dari pemilik membagi-bagikan daging hewan yang mati tersebut, seperti sapi dan yang lainnya beralasan, bahwa agar daging bangkai tersebut bisa bermanfaat bagi dirinya karena ia bisa tetap menjualnya dengan harga murah kepada warga dengan kisaran 45 ribu per kilonya, sekaligus bisa membantu warga miskin yang sangat sulit untuk membeli sapi. Selain itu, hasil penjualan bangkai daging sapi tersebut, akan dikembalikan kepada pemilik ternak yang kesusahan dan merugi karena hewan ternaknya mati. (Kompas.com, 05/07/2023)
Dalam hal ini, tentu kita mendapati fakta, bahwasannya keberadaan adat istiadat keliru yang ada di tengah-tengah masyarakat ini terjadi secara terus-menerus. Selain itu, alasan masyarakat untuk tetap melanjutkan jual beli daging bangkai tersebut, menunjukkan betapa mirisnya kondisi ekonomi masyarakat Indonesia. Bahkan untuk kebutuhan primer pangan yang bergizi saja tidak mampu tercukupi. Padahal daging merupakan salah satu bahan pangan yang penting bagi tubuh kita.
Dua faktor yang dijelaskan sebelumnya seyogianya hanyalah akibat dari kurangnya pemahaman masyarakat terkait hukum syarak, terkait halal dan haram. Sebagaimana yang kita tahu Islam melarang kaum muslimin untuk mengonsumsi daging bangkai apa pun.
Sebagaimana dalam surat Al-Maidah: 3 yang artinya, “Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, dan daging hewan yang disembelih bukan atas nama Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu sembelih.”
Bahwasannya jika Brandu adalah sebuah adat dalam masyarakat, tetapi tetap ada ketentuan dan batasan yang jelas bagi kita untuk bisa memilah dan memilih adat istiadat mana yang halal dan mana yang haram. Ini semua perlu diperhatikan karena seorang muslim seyogianya harus berpegang teguh pada hukum yang disyariatkan Allah. Kalaupun ia bukanlah seorang muslim, ia pun tentu mengetahui terdapat larangan-larangan yang tegas dalam setiap agama apa pun untuk tidak mengonsumsi daging bangkai, terlepas dari kebersihan maupun kesehatan daging yang dikonsumsi.
Dari sisi lain, kasus Brandu yang akhirnya menyebabkan korban jiwa yang cukup banyak, menunjukkan kurangnya perhatian pemerintah untuk mengedukasi masyarakat terkait Kesehatan juga menunjukkan kelalaian dalam pengurusan kebutuhan pokok masyarakat dalam hal ini pangan. Juga menunjukkan ketidakseriusan pemerintah dalam mengentaskan kemiskinan di tengah-tengah masyarakat. Pemerintah dan negara memiliki kewajiban yang besar dalam memenuhi kebutuhan dasar masyarakatnya. Negara wajib menjamin pemenuhan hajat setiap rakyatnya, baik secara kualitas maupun kuantitas.
Jika dicanangkan bahwa pola konsumsi yang disarankan pemerintah adalah 4 sehat 5 sempurna. Maka sewajarnya pula pemerintah memfasilitasi dan memudahkan regulasi bagi masyarakat untuk mendapatkan kebutuhannya tersebut baik dia rakyat kecil maupun yang kaya.
Setiap orang membutuhkan pemenuhan pangan dengan kualitas terbaik dan kuantitas yang cukup. Persoalan daging sapi yang menjadi jalan menularnya antraks hingga merenggut nyawa, adalah salah satu bukti kelalaian penguasa akan kualitas bahan pokok. Para peternak sering kesulitan dalam memenuhi kebutuhan hewan ternak-ternaknya mulai dari pakan, kandang, hingga perawatan yang membuat ternak mudah sakit dan mati. Selain itu harga daging yang membumbung tinggi sangat menyulitkan masyarakat yang ingin mengonsumsinya.
Hanya sebagian masyarakat yang mampu beli, rakyat kecil hanya bisa bermimpi karena tingkat ekonomi sangat rendah dan terkategori sangat miskin. Maka, wajar masyarakat rela mengonsumsi daging yang murah meskipun berbahaya. Inilah potret kondisi masyarakat saat ini. Persoalan antraks bukan sekadar persoalan adat istiadat, tetapi berkaitan dengan kondisi ekonomi masyarakat yang sangat memprihatinkan. Kemiskinan menjadikan masyarakat berpikir dan bersikap tidak sehat, nekat. Jika hal ini terus dibiarkan, akan dipastikan semakin banyak korban jiwa.
Islam sangat memperhatikan kebersihan, kesucian, apalagi kesehatan. Karena hal itu semua merupakan modal awal seseorang bisa beraktivitas dengan lancar dan berpahala. Semua perbuatan manusia bernilai ibadah jika dilakukan semata-mata untuk mencapai rida Allah Swt, bukan sekadar memenuhi nafsunya semata, apalagi hanya karena adat istiadat yang mungkin berbahaya. Islam melarang dan mengharamkan kita mengonsumsi bangkai, tak semata-mata tanpa alasan. Selain itu Islam pun memerintahkan negara untuk menjamin semua kebutuhan pokok rakyatnya semata-mata sebagai bentuk kewajiban negara dan penguasa yang nantinya akan dihisab di hadapan Allah Swt.
Selama Islam diterapkan dalam kehidupan, insyaallah permasalahan antraks dan adat yang menyimpang tidak akan pernah terjadi. Karena semuanya telah diatur sesuai perintah dan larangan Allah Swt melalui sebuah sistem kehidupan yang khas, sistem Islam yang menaungi semua aspek kehidupan.
Wallahualam bissawab.