
Oleh : Lathief Ab (Pengasuh pondok Baitul Hamdi.
Pelitasukabuminews.com – Masalah pertanahan atau lahan kosong menurut hukum Islam dapat dimiliki oleh seseorang bila terlebih dahulu menggarapnya. Dalam kitab- kitab fikih hal itu disebut “Ihyaul Mawat”.
Dalam kitab Nidzamul Iqtishadi hal 79, Syekh Annabhani menjelaskan, Al mawat huwa al ardlu allati la malika laha wala yantafiu laha ahadun. Wa ihyauha huwa zira’atuha, au tasjiruha, au albina’ alaiha, al mawat adalah tanah yang tidak ada pemiliknya dan tidak pula ada seorangpun yang memanfatkannya. Menghidupkannya dengan cara menanaminya, atau memagarinya atau mendirikan bangunan diatasnya”.
Ihyaul mawat atau menghidupkan tanah yanga mati atau lahan kosong hukumnya Jaiz (boleh). Status tanah mati itu menjadi milik yang menghidupkannya. Juga termasuk bagian dari sebab-sebab kepemilikan atas suatu barang. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah Saw, “Barangsiapa yang menghidupkan tanah mati, maka tanah itu menjadi haknya,” (HR Abu Daud, Nasa’i dan Tirmidzi) “Barangsiapa yang membuka tanah yang mati, maka tanah itu menjadi haknya : Kalau burung dan binatang memakannya, maka menjadi shadaqahnya.” (HR. An Nasa’i). “Siapa saja yang telah memagari sebidang tanah dengan pagar, maka tanah itu adalah miliknya.” (HR Abu Daud)
Membuka tanah atau lahan yang sudah dimiliki oleh pemiliknya baik dilakukan oleh perorangan, kelompok atau negara hukumnya haram, hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah Saw; “Barang siapa yang mengambil tanah sejengkal dengan zalim, maka tanah itu kelak akan di lalungkannya kelak dihari kiamat 7 lapis bumi.” (HR Bukhari dan Muslim)
Karena itu beberapa kasus kisruh masalah lahan yang sedang banyak terjadi seperti Wadas, Rempang dan lainnya, berkaitan dengan lahan yang dihuni masyarakat, kemudian akan digarap oleh pemerintah atau swasta bisa dikembalikan pada asal hukum ihyaul mawat.